Sejak kemarin aku ingin sekali menulis lagi di sini, tapi aku menahan diri untuk memberi jeda. Begitulah, kadang aku melakukan dan memikirkan hal-hal yang tidak perlu. Gome... (untuk apa ya)
Aku ingin sedikit cerita tentang aku di Jakarta. Sudah 2 tahun aku di Kota ini, melihat, mengamati, bertanya "kok ada sih orang kaya gitu", dan bentuk-bentuk karakter lainnya. Kota ini, semuanya ada. Ramai, bising, padat, lelah, menyala, mewah, makanan yang enak tapi mahal, dll. Tapi, satu-satunya hal yang tak pernah bisa kuhindari dari kota ini adalah rasa sepi.
31/01/18 (17:27)
Aku selalu menyempatkan diri jalan-jalan sendirian, entah ke museum, kota, atau festival yang ada. Kalau dibilang sengaja ingin sendiri, tidak sepenuhnya benar tapi juga tidak sepenuhnya salah. Begitulah. Pada akhirnya, kota ini selalu menyadarkanku bahwa aku sendiri meski terkadang aku mulai merasa nyaman bersosialisasi dengan orang-orang sekitarku, namun tetap saja aku seperti selalu dibangunkan dari mimpi secepatnya jika itu mimpi yang indah. Tidak ada mimpi indah bagiku selama di sini, bahkan bisa jadi aku tidak pernah bermimpi.
Aku, sudah 2 tahun berusaha untuk menerima kenyataan, ikhlas menjalani segalanya, meski sekarang aku sudah ikhlas dan mencoba tetap menjalaninya sebaik mungkin karena aku tidak ingin kalah. Kadang, aku berfikir akulah yang paling menderita di antara teman-teman SMA-ku yang bisa satu kota bahkan satu kuliah dengan teman sekampung dn satu SMA pula. Tapi, ya aku sadari, aku beruntung karena aku bisa ke Jakarta, hal yang mereka inginkan.
Di Jakarta, aku tidak benar-benar punya seorang sahabat seperti sahabat-sahabatku di Sumbawa (ada yang kuliah di Jogja dan Makasar). Mereka akan datang bahkan meski aku tersesat di hutan, mereka akan mencariku dan membawakanku makanan terenak di dunia (huh aku rindu).
Dengan melihat kota ini, aku sadar, bahwa aku bukanlah satu-satunya manusia yang kesepian. Bisa jadi teman-temanku yang sedari kecil di sini masih tetap merasa kesepian. Saat itulah aku tahu, aku bukanlah yang paling menderita dan sakit, tapi masih banyak manusia di kota ini yang punya nasib sama atau lebih berat dariku. Pengamen di jalanan hingga malam, anak-anak penjual tisu di JPO, tukang sayur, penjual manisan, mbak-mbak pengasuh anak (di komplekku), mereka semua, aku tahu mereka mencari nafkah di sini dan meninggalkan anak serta istri/suami mereka.
Hal yang paling menyakitkan yang pernah aku sadari sejak aku di sini adalah aku tidak bisa menolong semua orang. Mungkin karena itulah, manusia di sini individualis, karena begitu banyak yang butuh bantuan, bahkan tidak tahu siapa yang bohong dan jujur di antara pengemis, pengamen, bapak-bapak tiduran di trotoar dan gerobak berisikan kardus, atau kakek tua penjual koran hingga larut malam itu. Apa kita bisa menolong mereka semua?
Aku kadang merasa seperti manusia yang tak berdaya, kalah, bohong, hina, tidak bisa menolong orang-orang itu, hanya perasaan iba. Terlebih melihat video-video dari teman sekampusku, mereka yang terkena musibah di jalan tapi tidak ada satupun yang menolong padahal kejadiannya di tengah keramaian dan kepadatan, ya Allah. Namun doaku, kuharap tersampaikan.
Begitu banyak yang tlah aku lihat dan amati (meski kutahu belum cukup). Aku hanya berusaha belajar mengikhlaskan dan menerima segala yang terjadi dalam hidupku dengan percaya rencana-Nya.
Kamu, siapapun kamu yang juga sedang berjuang, jangan lupa janji Allah. Semoga aku dan kamu bisa melewati semuanya, tetap percaya pada diri sendiri, tetap jadi pribadi yang tak mudah tergoyahkan pengaruh-pengaruh luar. Semoga aku dan kamu, menggapai bahagia kita :)
Comments
Post a Comment