Selamat siang pukul 14.02 WITA. Aku masih di kampung halamanku. Tapi aku ingin berpamitan denganmu yang di sini, besok aku balik Jakarta, tepatnya Depok hehe. Besok aku akan mampir satu hari di Lombok, aku ingin menginap ke rumah sahabatku yang sedari SD ku kenal. Sebenarnya aku cuma modus ke sana, tujuan utamaku pengen makan sambal buatan dia haha. Karena rasanya sudah lama aku tidak makan sambal enak buatannya. Padahal dia tinggal bersama suami dan anaknya, tapi yasudah aku kan tidurnya pasti bareng dia haha.
Aku juga tadi mampir ke kuburan Bapak untuk pamitan balik ke Jakarta, sebenarnya Bapak dengar ga yaa? Yaa gimana lagi, cuma bisa berharap Bapak dengar, karena kita manusia biasa belum pernah pergi liburan ke akhirat kaan. Kemarin hari Jumat, aku juga ke sana bareng mama. Sekalian bawain kerang-kerang cantik yang ku kumpulkan di pantai yang ku kunjungi bersama sahabat-sahabatku minggu lalu. Ku letakkan di pusaran Bapak, bersama batu-batu yang sudah ada sebelumnya. Mama dan aku masih berduka. Hanya saja, karena kami tidak saling bercerita soal duka ini, mama masih minum air doa yang sepertinya diminta ke kenalannya.
Hari Senin-Rabu di minggu ini, aku kembali ke “rumah”ku. Desa di mana aku dibesarkan orang tuaku. Tempat aku tumbuh, tempat aku bersekolah sedari kecil, tempat di mana aku bisa bertemu orang-orang yang ku sebut keluarga kedua. Rasanya hangat sekali bisa “pulang” walau cuma sebentar.
Aku tidak menginap di rumahku tapi di rumah Nenek Lah, yang sekarang sudah dihuni salah satu anak beliau. Dia, istrinya, dan anak-anaknya sudah seperti keluarga bagiku, mama, dan bapak. Begitu juga anak, menantu, atau cucu Nenek Lah yang lain. Jika ku ceritakan mereka satu per satu, sepertinya akan sangat panjang haha. Yang jelas, aku sangat bersyukur mereka ada, aku merasa diterima sebagai apa pun aku.
Di sana, aku bangun subuh seperti biasa, shalat, lalu ke pasar (foto di atas itu depan pasar) yang bisa dibilang cuma perlu berjalan kaki puluhan langkah. Semua anak dan menantu Nenek Lah mencari nafkah dengan berdagang di pasar. Dagangan kecil-kecilan, tidak banyak untungnya, tapi mereka tetap harus berjualan. Apalagi pasar itu, yang dulunya sangat ramai, sekarang sepi. Aku sampai kaget ketika pulang tahun lalu, melihat kondisi itu.
Di pasar, aku seperti ratu yang selalu ditawari ini dan itu. Makanan atau minuman, mereka bersedia memberiku gratis haha. Tapi tentu saja tidak ku terima cuma-cuma (kecuali dipaksa haha). Ketiga menantu Nenek Lah (perempuan) satunya jualan Pelu, satunya Lupis, satunya dagang es teh dan minuman kemasan lainnya. Sedangkan anak perempuan beliau satu-satunya, dagang pakaian. Jadi aku berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Belum lagi mampir ke lapak tetangga kami dulu yang juga berjualan di pasar. Bisa dibilang hampir semua orang yang rumahnya bertetangga atau terpisah gang dengan rumahku, dagang di pasar. Bisa kamu bayangkan aku orang yang udah lama ga pulang, kalau pulang dan ke pasar gimana? Berasa selebritas di panggil, ditawari makanan, dan mampir-mampir ngobrol sebentar haha. Sederhana ya, walau terkesan jadi riweh, tapi aku selalu suka.
Aku ke rumah Ua (panggilan lain untuk kata Bapak). Aku jarang bicara soal beliau. Tapi ia salah satu manusia yang berjasa di masa kecilku. Aku dulu sewaktu SD sering main bersama anak-anaknya di rumahnya. Aku ingat banget momen pertama kalinya aku lihat orang cuma makan nasi pakai sambal itu di rumah Ua, diajak nyobain, eh ternyata enak juga haha. Sejak kecil memang ku panggil Ua, karena istri beliau membantu mama mengAsi-ku saat aku bayi. Rumahku dan rumahnya tidak sedekat rumahku dan Nenek Lah. Jadi kami tidak bertemu setiap hari. Hanya saja, sering terlintas di benakku momen saat aku menikah. Ternyata Ua datang, naik ke atas panggung, salam, dan tiba-tiba mengeluarkan uang 100 ribu diberikan langsung kepadaku. Momen itu buatku terharu, meski kamu pikir mungkin hanya selembar uang 100 ribu, tapi mungkin juga baginya uang itu sangat berarti, sampai Ua memberiku uang itu di momen itu. Dua kali aku ke rumahnya, tidak ada orang, kata tetangganya Ua sering ke rumah anaknya yang beda kampung dengan kami. Jadi aku tidak bertemu lagi dengannya di tahun ini. Semoga Ua panjang umur dan kami diberi kesempatan bertemu. Terima kasih yaa Uaa.
Dari momen-momen yang sudah terekam dalam pikiran itu, aku jadi sensitif, baper lebih tepatnya. Tapi aku kembali disadarkan, bahwa aku bisa menerima semua kebaikan dari tempat itu, dari orang-orang itu, berkat Mama dan Bapak. Entah itu karena kebaikan mereka ke sesama manusia, atau karena mereka menjaga hubungan harmonis yang saling memberi/menerima selama tinggal di rumah kami, aku jadi bisa merasakan kebaikan ini. Terima kasih Mama, Bapak, aku percaya hubungan seperti ini justru jadi warisan yang berharga untuk keturunan kita. Semoga aku juga bisa membangun hubungan semacam itu di tempatku sendiri nantinya. Orang tua menabur benih kebaikan, anak-anaknya lah yang menuai semua.
Lain waktu aku lanjutin cerita-cerita lagi yaa. Tahu ga si ini aku udah nulis siang tadi, tapi karena mama pulang kerja, dan kami harus keluar beli tiket travel, cari kardus, ambil titipan yang bakal dibawa ke Jakarta, dan lainnya, jadi ceritanya tertunda haha. Sekarang sudah malam pukul 21.40, waw tumben banget masih melek haha. Biasanya jam setengah 9 aja di sini aku sudah tidur. Sekarang sudah mengantuk, selamat tidur kamu, besok tetap hidup ya!
Comments
Post a Comment